FIRMAN
Khotbah minggu
Pengadilan Oleh Pilatus yang Pengecut
(Mat 27:15-26)
Dalam sejarah agama
Kristen, ada tokoh yang selalu dituntut selama waktu yang lama lewat pengakuan
Iman Rasuli, itu adalah Pilatus, wali negeri Israel yang diutus oleh kaisar
Roma. Sebenarnya dia sendiri tidak memiliki pikiran
untuk menjatuhkan hukuman kepada Yesus. Namun untuk menjaga kekuasaannya dan
sikapnya yang pengecut, akhirnya ia berkompromi dengan dunia dan menggunakan
Yesus sebagai batu pijakan bagi kekuasaannya. Saat itu, di tempat pengadilan tampak sebuah
bejana. Setelah menyelesaikan pengadilan, Pilatus
mencuci tangannya di hadapan banyak orang dan menyatakan bahwa ia tidak
bersalah. Tapi bejana Pilatus tidak bisa menjadi bukti bahwa ia telah lepas dari tanggung
jawabnya. Bejana itu malah menjadi bukti secara turun-temurun, yang membuktikan
dosa dan kesalahannya ke seluruh dunia. Sambil memikirkan beberapa permasalahan
yang ada di balik bejana Pilatus, marilah kita memeriksa diri masing-masing
dalam masa sengsara ini.
1.
Suara kecil atau suara besar? Pilatus hanya mendengar
suara yang besar. Ia tidak mendengar suara yang kecil (Luk 23:23a, Yoh 18:40,
19:6, 12, 15). Banyak orang berteriak, “Salibkanlah
Yesus!” Teriakan dan seruan itu adalah suara keras
karea dibayar oleh orang-orang dari golongan penguasa, yaitu imam-imam &
tua-tua (Luk 23:23). Pada telinga Pilatus, ada permintaan dari
istrinya, “Tadi malam aku bermimpi buruk. Jadi bebaskanlah orang yang namanya
Yesus itu.” Namun permintaan ini hanyalah suara yang kecil pada telinga
Pilatus. Dan ada juga suara tangisan dari sekelompok kecil yang percaya Yesus
sebagai Kristus. Tapi
pada telinga Pilatus yang telah ditekan oleh suara besar, semua itu hanyalah
suara-suara kecil semata. Hati nuraninya terus berbisik tapi suara yang besar
dari banyak orang telah menelan suara yang kecil dari hati nuraninya. Pada ‘dunia pikiran kita’ dan ‘dunia ini’,
terus berlanjutlah perang antara suara besar dan suara kecil. Suara hawa nafsu real selalu menguasai kita
dengan suara yang besar. Maka apa artinya kita percaya Allah? Itu berarti kita mendengar suara kecil
Allah yang berfirman lewat hati nurani kita dan kita hidup sesuai dengan firman
itu. Meskipun kita tenggelam dalam situasi
apapun, kita harus hidup dalam hati nurani iman yang benar. Nabi Mikhaya (1Raj
21:1-40), Musa (Kel 3:1-10, Ibr 11:24-31), nabi Elia (1Raj 19:9-18), Ayub (Ayb
4:12, 16-21), dan Yesus, mereka adalah orang2 yang mendengarkan suara kecil.
Kiranya kitapun bisa mendengar suara kecil Allah yang hanya terdengar di
telinga Samuel yang masih kecil. Dengan demikian, barulah kita akan bisa
menanggung tugas sebagai yang menjawab panggilan Allah (1Sam 3:3-21).
2.
Realita atau ideal? Bejana Pilatus
memperlihatkan bahwa ia lebih mengejar realita daripada ideal, atau apa yang
seharusnya. Ini adalah sebuah pertanyaan di persimpangan
kehidupann, yaitu pilihan antara cara atau kebenaran. Orang Yahudi menyerahkan Yesus kepada Pilatus karena
Pilatus memiliki kuasa untuk menjatuhkan hukuman kepada Yesus atau membebaskan
Yesus dari hukuman. Sebenarnya Pilatus telah tahu bahwa Yesus
tidak bersalah (Yoh 18:38, 19:4, 6). Tapi bagi Pilatus yang seorang Politikus,
keamanan politik adalah nilai tertinggi baginya. Arti dari nama Pilatus adalah
orang yang memiliki tombak. Seperti arti namanya, meskipun ia memiliki kuasa untuk
membebaskan Yesus, ia tidak memakainya. Pilatus
mencuci tangan, artinya ia mencuci atau melepaskan kebenaran dan lebih memilih
cara. Oleh karena kesadaran untuk 'mau yang mudah-mudah saja’ dari Pilatus
tersebut, Yesus menjadi korban (Mat 27:20-26, Yoh 19:1-16). Kepada Pilatus yang bertanya kepada Yesus, “Apakah
kebenaran itu?” Apa jawab Yesus? Yesus berkata di Yohanes 18:37, “Orang yang berasal
dari kebenaran adalah orang yang berada di pihak kebenaran, mendengarkan
suara-Ku.” Karena Pilatus tidak berdiri di pihak
kebenaran dan lebih mementingkan cara, maka ia pergi kepada bejana. Hal kita percaya Allah
berarti kita hidup di dalam ‘ideal’. Itu bukanlah mimpi yang samar-samar, tapi adalah arah
yang pasti. Alkitab mengatkan bahwa Allah adalah Allah dari Abraham,
Ishak dan Yakub. Ini menjadi bukti yang membuktikan bahwa meski
mereka adalah orang berdosa yang mlakukan kesalahan, namun setidaknya, arah dan
apa yang ideal bagi mereka itu berakar dengan kokoh pada janji Allah. Hari ini, bukankah kita percaya dengan
memisahkan Allah dengan kehidupan realita? Bukankah kita sedang menjadikan Allah kita
sebagai Allah hari Minggu, atau Allah dalam tempat ibadah atau di gereja saja? Yakub yang dulunya menempuh ‘jalan yang mudah-mudah’ dari iman,
berikutnya menjadi sadar akan Allah yang ada juga di Lus, yaitu yang ada juga
di padang gurun. Ia menjadi sadar akan ‘Allah hari ini’ yaitu ‘Allah
saat ini’ yang menyertainya di dalam perjalanan sebagai pelarian juga. Lalu, ia menanggalkan ‘cara-cara yang
mudah’, dan memulihkan pandangannya dengan akurat terhadap ‘ideal dan arah’. Di dalam kehidupan kita sehari-hari,
kebenaran haruslah tetap hidup. 3.
Tanggunganku atau tanggunganmu? Pilatus yang telah
mencuci tangan menyatakan, “Aku tidak bertanggung jawab atas perkara ini (Mat
27:24).” Ungkapan ‘Itu urusan kamu sendiri’ dalam
naskah aslinya berbentuk jamak, 'orang kedua dari kata kerja obsesde. Di dalam kata obsesde, telah terkandung subjek ‘kalian’, namun tetap dalam ayat
tersebut ditambah lagi ‘subjek jamak orang kedua’. Jadi subjeknya benar-benar
ditekankan. Pilatus mengalihkan pertanggungjawabannya kepada orang-orang Yahudi.
Bejana Pilatus telah menajadi simbol dari pengalihan tanggung jawab. Untuk
keuntungan dirinya, keamanan posisinya, dan popularitasnya, ia mengalihkan
beban yang seharusnya ia pikul kepada orang lain. Kita meski kelihatannya tidak
memiliki apapun, namun nyatanya, cakupan hak dan kuasa yang kita miliki itu ternyata
luas. Kuasa yang bisa kita lakukan adalah hadiah Allah. Dan hal kita menggunakan kuasa yang adalah
hadiah itu dengan baik, itulah kehidupan iman. Itu sebabnya, ungkapan “Itu
bukan bebanku, bukan tanggunganku’, ini tidak bisa menjadi sikap dari orang yang
berdiri di hadapan Allah. Itu adalah sikap yang berasal dari
ketidakpercayaan. Beban yang Kristus
tuntut pada kita adalah kayu salib (Mat 16:24). Salibnya yang kita harus pikul menunjukkan bahwa
kita tidak boleh lupa pada fakta bahwa itu berarti memikul ‘beban atas kasih
dan pengorbanan yang masing-masing kita harus pikul, dan bahkan memikul juga
tanggung jawab yang seharusnya orang lain pikul.’ Kesimpulan: Bejana pilatus adalah
karya gagal yang penting untuk dipelajari. Di persimpangan antara suara besar dan
suara kecil, kita haruslah mendengar suara kecil. Di persimpangan antara realita dan ideal,
kit haruslah menengadah ke langit. Didalam persoalan pertanggung
jawaban, kira haruslah selalu ingat akan kayu salib yang Yesus pikul. Ketika
kita menjalani kehidupan yang seperti demikian, percayalah bahwa rupa Pilatus,
hakim yang pengecut, akan hilang lenyap dari kita dan kita semua bisa menjalani
kehidupan iman yang menang. Amin.