FIRMAN
Khotbah minggu
KASIH BAPA YANG SEJATI
(Luk 15:11-32)
Di kitab Lukas,
terdapat 57 kali Yesus berfirman lewat perumpamaan, salah satunya perumpamaan
tentang anak yang berfoya-foya yang kembali ke rumahnya. Di Ulangan
21:16-17 terdapat hukum yang ditetapkan Allah mengenai warisan. Dikatakan bahwa
kepada anak sulung harus diberikan warisan 2 kali lipat. Dan pemberian warisan
dilaksanakan setelah tiba waktunya bagi sang ayah untuk meninggalkan dunia ini.
Maka perbuatan dari anak bungsu yang meminta warisan ketika ayahnya masih hidup
adalah tindakan yang menantang wibawa ayahnya. Juga dia bukan anak sulung.
Pelajaran apa yang kita peroleh melalui firman mengenai anak yang berfoya-foya
ini.
1. Sejak meninggalkan ayahnya, anak bungsu tersebut lupa akan
kebebasan yang sejati. Sang ayah menunjuk
kepada Allah, dan anaknya adalah kita, umat manusia. Di ayat 13, setelah si
anak bungsu menerima harta warisan dari ayahnya, ia langsung pergi ke negeri
yang jauh. Ini menunjuk negeri yang jauh secara spiritual. Alkitab mengatakan
bahwa daerah yang merdeka dari Bapa adalah negeri yang jauh. Itu berarti si
anak tidak senang terhadap firman Allah dan tidak
senang terhadap
campur tangan Allah. Di Yohanes 8:32 dikatakan firman
Allah yaitu ‘kebenaran itu’, itulah yang akan memerdekakan kita. Di 2Korintus
3:17 juga dikatakan “dimana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan.” Maka saat
manusia bersama-sama dengan Tuhan dan firman, maka ia akan menikmati kebebasan/kebahagiaan
yang sejati dan menyadari kebenaran yang sejati. Di negeri yang jauh tersebut
dia menghabiskan semua hartanya. Dia hidup berfoya-foya. Bahasa Yunaninya astos, artinya kehidupan yang sangat
berlebih-lebihan dan boros. Ini memperlihatkan betapa tidak bernilainya
kehidupan manusia yang meninggalkan Allah. Ia kehilangan semuanya: waktu, harta
dan kesempatan. Umat manusia yang meninggalkan Allah itu sama saja dia tidak
punya tujuan yang sejati, menghabiskan waktu dengan hina dan pada akhirnya
tidak ada yang tersisa selain dosa (Mzm 146:5, 1Tim 6:17). Untuk
bertahan hidup di negeri asing, anak itu menjadi penjaga babi dan makan makanan
babi. Walaupun ia hidup, kehidupannya seperti orang yang telah mati. Dan lebih
lagi, pemilik babi tersebut tidak memperbolehkan makanan babi diberikan (ayat
16). Walaupun dengan mulut kita
mengaku percaya Allah dan percaya Yesus, akan tetapi dalam segala aspek
kehidupan kita, apakah kita meninggalkan Allah setiap harinya? Di Mazmur
49:21 dikatakan manusia yang dalam segala kegemilangannya tidak mempunyai
pengertian, boleh disamakan dengan hewan yang dibinasakan. Walaupun mulutnya berkata Tuhan~ Tuhan~, tapi
apakah kehidupan kita sedang menjauh dari Allah? Kehidupan yang seperti
demikian, dari luar sepertinya baik-baik saja, tapi sebenarnya itu mirip di
Kejadian 3 yaitu kehidupan yang dikelilingi semak duri dan rumput duri (Yer
12:13). Kehidupan yang meninggalkan Allah pada akhirnya hanya
akan menumbuhkan ilalang, hanya akan membuang-buang usaha dan benih saja.
Kehidupan yang hampa. Di Amos 4:6-12, 4 kali Allah berkata kepada umat Israel yang
telah meninggalkan-Nya, “berbaliklah kepada-Ku”.
2. Si anak yang berfoya-foya menyadari kebodohannya,
menyadari keadaannya, lalu ia berbalik dan bertobat. Di ayat 17 dikatakan
“ia menyadari keadaannya.” Bahasa Yunaninya Eis
Heauthon de eldon yang artinya kembali kepada dirinya sendiri.
Artinya ia kembali merenungkan rupa dirinya secara
objektif. Kesadaran dirinya ini membuatnya memberikan pengakuan yang luar biasa
“Aku telah berdosa terhadap Sorga dan terhadap bapa.” Dia tidak berkata bahwa
ia hanya berdosa terhadap
bapanya, tapi dia mengakui ia juga berdosa terhadap Sorga. Akan tetapi, langkah
kakinya yang menuju ke rumah bapanya setelah ia sadar, bukanlah langkah yang
ringan. Bayangkan cara Allah yang membuat anak itu berbalik. Bencana kelaparan
besar dan kegagalan total, lewat itu semua kita bisa menemukan pemeliharaan
yang ajaib dan mengagumkan dari Allah. Di dalam pemeliharaan ini, Allah
membuatnya sadar dan rupa si anak merenungkan kembali dirinya dan sepenuhnya
bertobat atas dosanya, itu sangat menyenangkan Allah. Maka pertobatan yang
sejati adalah pertobatan yang disertai dengan ketetapan hati, yang sepenuhnya
mengakhiri kehidupan masa lalu dan berpindah ke kehidupan yang baru. Sasaran pertobatan bukanlah manusia, tetapi
Allah. Di saat kita dengan jujur mengakui kesalahan kita kepada Allah, maka
lewat kasih, berkat dan kasih karunia Allah yang tak terbatas, Allah akan
mengampuni kita (Mzm 51:17; Ams 28:13).
3. Sang ayah tidak bertanya apa-apa, melainkan langsung berlari kepada si anak,
mendekap dan menciumnya. Ketakutan dari si anak
yang berjalan dengan langkah yang berat hanyalah kekhawatiran yang tidak perlu.
Dikatakan di ayat 20, sang ayah telah melihat anaknya ketika anaknya masih
jauh. Ini bukti bahwa setiap hari sang ayah telah menunggu kepulangan anaknya
dengan sangat khawatir. Sang ayah-lah yang terlebih dahulu melihat anaknya dari
jauh. Ini memperlihatkan tingginya kasih Allah Bapa. Sang ayah yang melihat
anaknya ‘tergeraklah hatinya oleh belas kasihan’. Ungkapan ini menurut bahasa Yunaninya
‘hatinya sakit, seperti organnya bergoncang, dia tidak bisa tahan dan hatinya
luluh.’ Jika kasih bapa itu adalah kasih
yang sampai-sampai membuat organnya sakit karena anaknya pergi meninggalkannya,
maka seperti apakah perasaan Allah yang mengharapkan orang-orang
yang berdosa berbalik? Sang ayah berlari kepada anaknya, itu hal yang tidak
mungkin menurut kebiasaan orang Yahudi di zaman itu. Maka dibandingkan dengan
martabat atau pandangan orang lain, sang ayah menganggap kedatangan anaknya
adalah kebahagiaan yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun di dunia. Lalu si ayah tersebut
tidak bertanya apapun kepada sang anak. Fakta anaknya kembali saja sudah
membuat ayahya sangat senang. Maka sebelum si anak mengakhiri kata-katanya,
sang ayah memanggil hamba2nya dan menyuruh mereka untuk mengganti baju anaknya
dan mengenakan sepatu kepadanya. Pakaian anaknya yang compang-camping menunjuk
kepada masa lalu si anak yang berdosa. Dengan menggantikan baju berarti sang
ayah mengganti status anaknya kembali. Juga diberikan cicin, artinya sang ayah
mengakui kuasa anaknya. Dia juga dikenakan alas kaki. Di zaman itu, budak-budak
tidak bia mengenakan alas kaki, hanya orang yang merdeka bisa pakai alas kaki.
Maka si anak diberikan kebebasan sejati, diangkat dari status hamba ke status
tuan. Si anak menemukan kembali posisinya sebagai anak bapa.
Kesimpulan Kehidupan yang
meninggalkan bapa adalah kehidupan yang mati di hadapan Allah (ayat 24, 32, Why
3:1). Di keluarga kita, di sel group kita, di sekitar kita, apakah ada orang2
yang tidak bisa berbalik kepada ayahnya seperti si anak yang berfoya-foya ini? Dan
apakah di dalam kita ada hati yang meninggalkan Bapa? Jika ada, kiranya kita
mencari kembali mereka semua dan mengantarkan mereka ke rumah Bapa. Amin.