FIRMAN

Khotbah minggu

Home > Firman > Khotbah Minggu

Iman Yang Benar

Views 97729 Votes 0 2014.08.27 22:22:14

IMAN YANG BENAR

(Ayub 1:1-5, 20:22)

 

Sesuai dengan dimana diletakkannya iman kita, maka karakter atau sikap kita akan berbeda.

a)         Ada orang yang memiliki iman yang percaya melalui pengetahuan. Orang seperti ini biasanya jatuh kedalam iman yang rasionalisme.

b)         Ada orang yang menganggap iman sebagai kehendak/kemauan. Orang yang seperti ini biasanya jatuh kedalam kepercayaan kepada keselamatan karena perbuatan.

c)         Ada juga orang yang mencari iman melalui perasaan. Orang seperti ini biasanya tenggelam dalam mistisisme. Melihat 3 hal ini, mari kita merenungkan dimanakah Ayub meletakkan dasar imannya.

 

1.         Ayub menaruh imannya pada hati (Ayub 1:5).

Ketika iman meninggalkan hati, seseorang pasti akan berbuat dosa terhadap Allah. Ayub tidak puas atas iman anak-anaknya yang hanya melayani secara formalitas/luar saja. Yesus pun menegur iman orang Farisi dengan berkata, “Dengan mulutnya mereka hormat, tapi hati mereka jauh (Mat 15:8).” Maka iman haruslah ditaruh pada hati, barulah kita tidak akan mencari muka dan tidak berdusta. Rasul Paulus juga berkata bahwa ia melayani Allah sesuai dengan hati nurani dalam segala hal (Kis 23:1, Rom 1:9, 2Tim 1:3). Jika kita tidak menaruh telinga kita pada suara hati nurani, maka kita akan hidup dengan terus menerus mendustai hati nurani. Pergi ke sorga tidak bisa hanya percaya dengan asal-asalan. Hati nurani harus dipulihkan melalui firman, barulah bisa ke sorga. Jika tidak menaruh iman pada hati, maka pertobatan yang sejati tidak akan terjadi (Kel 32:26).

 

2.         Ayub menaruh imannya di koordinat yang tidak berubah (Ayub 1:5).

Di Ayub 1:5, kata ‘senantiasa’ adalah ‘kol hayi-yamim’  yang berarti ‘seluruh dari hari-hari itu’ yaitu seumur hidupnya.  Dikatakan di Filipi 2:12 bahwa iman kita haruslah selalu taat sampai keselamatan digenapi. Rasul Paulus, sampai ia mati, ia tidak menganggap imannya sudah disempurnakan. Karena itu sampai ia mati, ia sedang berlari ketujuan sambil melihat penyempurnaan imannya (Fil 3:12). Namun pada gereja Galatia, dikatakan mereka lekas berbalik (atau segera menyimpang) dari Injil dan karena itu ditegur oleh rasul Paulus (Gal 1:6, Why 2:4). Jika seseorang segera menyimpang dari jalan yang diperintahkan, maka mulai saat itu, ia hanya melakukan apa yang dilihat oleh mata jasmani. Hasilnya, Allah yang tidak kelihatan akan dibuat menjadi Allah yang kelihatan dan itu tampak sebagai lembu emas (Kel 32:8, Neh 9:18). Ketika Yesus datang ke bumi ini, iman bangsa Israel telah berubah menjadi buruk sehingga penuh dengan formalitas dan kemunafikan, sampai-sampai dikatakan “Sekiranya ada di antara kamu yang mau menutup pintu (bait suci) (Mal 1:10).” Jika kita tidak menaruh iman kita pada koordinat yang tidak berubah, maka kita akan menjalani kehidupan iman yang telah menyimpang dari hakikatnya. Pada akhirnya ketika bangsa Israel melihat pekerjaan Yesus, mereka tidak bisa melihat dan meski mereka mendengar firman, namun mereka tidak bisa mendengar (Yoh 8:40, 47, 9:39-41) karena didalam diri mereka ada berhala yaitu allah yang mereka buat sendiri (Mzm 115:4-7). Koordinat iman kita haruslah ditaruh pada firman Allah yang tidak berubah (Yos 14:12, Bil 14:8, Ibr 13:8, Yak 1:18-19, Mal 3:6, Dan 6:16).

 

3.         Ayub menaruh atau memiliki iman yang telanjang/murni (Ayub 1:21).

Pada iman yang telanjang/murni hanya ada syukur dan pujian. Maka kita jangan menaruh iman pada materi (Hab 3:17-18). Tanpa iman/murni yang telanjang, kita tidak bisa percaya Allah. Nilai yang sejati dari umat manusia akan muncul saat kita memiliki iman yang telanjang/murni (1Kor 7:31). Ketika manusia berjalan bersama dengan Allah dan bersandar hanya kepada Allah saja, barulah sukacita akan muncul dan materi akan datang dengan sendirinya.

 

Kesimpulan:

Ayub menaruh imannya bukan pada penolakan, tapi pada penerimaannya (Ayb 1:22). Ayub tidak berdosa dengan mulutnya dan tidak mengeluh (Ayb 2:7-10, Kis 26:14). Janji Allah selalu ‘ya’ (2Kor 1:20). Pekerjaan yang manusia lakukan, pasti selalu ada kekeliruan dan bisa saja terdapat maksud jahat. Tapi pada pekerjaan yang Allah lakukan, sama sekali tidak ada kekeliruan atau maksud jahat. Firman Allah ataupun pekerjaan yang Allah lakukan selalu menjadi “ya.” Maka kita harus menerimanya dengan mengatakan amin tanpa syarat. Kiranya kita bisa menaruh iman pada keempat unsur dasar dari iman yaitu hati, ketidakberubahan/tidak berubah, ketelanjangan/murni, dan penerimaan atau kepositifan. Amin.

 

List of Articles
No. Subject Date Views
XE Login